Senin, 13 April 2015

Manusia dan penderitaan

Ku sangat merindukan kasih dan sayangmu, Ibu
Selalu ku teringat raut wajahmu yang sayu
Sifatmu yang ramah, anggun serta lugu
Semua itu kini seolah musnah hilang tak berbau
Tiap malam ku hanya bisa menangis tersedu-sedu teringat olehmu
Aku selalu berharap ini semua hanyalah sebuah mimpi
Mimpi buruk yang kan segera hilang menepi
Tapi, tak kusangka sekarang kenyataan ini hanya bisa kuratapi
Ku jalani hidupku kini sendiri disini dalam sepi
Aku terus berpikir dan mencoba berhenti menyesal dan mengusap tiap air mata di pipi
Ayah dan Ibu, kini kalian telah pergi jauh
Sebuag keluarga yang kudamba rasanya kini seakan tidak lagi utuh
Walaupun nanti aku telah tersungkur jatuh
Sekarang aku hanya bisa berjanji tak 'kan lagi mengeluh
Untuk menggenggam masa depan secara penuh
Yatim Piatu, bagi kalian mungkin kata yang seram
Tapi janganlah kau anggap kami ini anak haram
Yang masa depannya tervonis suram
Aku tak 'kan mau hanya terdiam dalam pekatnya malam
'Ku kan berdiri dan terus berlari menuju temaram
Wahai Tuhan yang Maha Pengasih lagi Penyayang
Bebaskanlah hidupku dari penyesalan yang membayang
Mudahkanlah aku menjalani hidup yang kian menantang
Kini ku ikhlaskan sudah orang tuaku berpulang
Semoga mereka berdua beristirahat dengan tenang
Mungkin kami tanpa ayah, tanpa ibu, atau bahkan tanpa orang tua
Tapi kami juga manusia, yang ingin dihargai serta hidup merdeka
Ayo kawanku, Yatim Piatu bukalah akhir segalanya, tetap jaga solidaritas dan jalin satu rasa
Kepedulian, Kebersamaan kita adalah awal menuju akhir yang bahagia
Tidak usah minder ataupun rendah diri kita semua sama, semoga bisa menjadi pribadi-pribadi yang mulia


*Puisi ini terinspirasi disaat saya melihat anak yatim piatu


Manusia dan Kebudayaan

Tangan sudah menerima
Namun mulut tak kunjung bersuara
Mata sudah bertemu mata
Namun mulut tetap diam seribu bahasa
Dalam berkawan
Tak jarang kita memilih teman
Lebih memilih yang beristana daripada yang bergubuk
Lebih memilih yang jelita daripada yang buruk rupa
Jendela tetap tak kunjung terbuka
Ketika di luar terdapat sepasang tangan kecil kotor yang meminta
Namun tak sukar bagi kita ‘tuk menurunkan kaca
Saat tangan hendak membuang sampah
Apakah ini negara yang kita banggakan?
Kata mereka kita ramah selalu
Kata mereka kita bersatu padu
Kata mereka tak sukar bagi kita ‘tuk mengulurkan tangan!
Kata mereka kita cinta lingkungan
Kata mereka kita manusia berbudaya
Namun sayangnya
Itu semua hanya “kata mereka”
Apalah arti ribuan kata
Bila tidak diikuti dengan sebuah tindakan nyata?
Sesulit itukah bagi kita
Untuk menjaga keramah-tamahan tetap terpelihara
Membuat mulut melontarkan kata ‘terima kasih’
Membuat mulut membentuk lengkung senyum nan indah
Layaknya keramahan yang suku Baduy pelihara
Sesulit itukah bagi kita
Untuk menjaga kepedulian tetap hidup di antara kita
Mengulurkan tangan pada mereka yang meminta
Layaknya persaudaraan yang suku Baduy punya
Sesulit itukah bagi kita
Untuk menjaga api persatuan tetap membara
Berkawan dengan siapa saja
Layaknya persatuan yang suku Baduy jaga
Meski kemajuan zaman kian melanda
Sesulit itukah bagi kita
Untuk memelihara kekayaan alam yang kita punya
Alih-alih merusaknya dengan tumpukan sampah yang tak ada habisnya
Layaknya yang suku Baduy lakukan terhadap alam mereka
Menjaga alam dengan segenap jiwa
Inilah saatnya bagi kita
Untuk mengembalikan kepribadian Indonesia seperti dahulu kala
Mempertahankan nilai-nilai kebudayaan bangsa
Layaknya suku Baduy yang teguh mempertahankan budaya mereka
Meski arus waktu terus meggerus
Dan roda zaman terus menggilas


*puisi ini terinspirasi pada saat saya kepedalaman baduy tengah sekitar 2 tahun lalu.